حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ قَالَ سَمِعْتُ عَامِرًا يَقُولُ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنْ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا
(البخارى, الترمذى, أحمد(
Dari Nu’man bin Basyir radhiyallaahu ‘an huma, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Peumpamaan orang yang menegakkan batasan-batasan Allah dan orang yang berkecimpung di dalamnya (larut dalam kemaksiatan) adalah bagaikan suatu kaum yang mengundi untuk menentukan tempat dalam ruangan kapal, maka sebagian ada yang mendapat tempat di bagian atas dan sebagaian yang lain ada yang mendapatkan tempat di bagian bawah kapal. Apabila orang yang mendapatkan tempat di bagian bawah kapal ingin mendapatkan air maka mereka harus melalui orang yang menempati bagian atas kapal, maka mereka berkata ‘seandainya kita lobangi sebuah lobang saja di bagian bawah yang kita tempati ini niscaya kita tidak akan merepotkan orang yang menempati bagian atas’. Jika mereka (yang di bagian atas kapal) mendiamkan saja perbuatan mereka tersebut niscaya akan tenggelamlah seluruh penumpang kapal, namun jika mereka mencegah perbuatan mereka niscaya mereka sendiri dan seluruh penumpang kapal akan selamat”. (H.R. Bukhari, Tirmidzi dan Ahmad)
ISI KANDUNGAN HADITS:
Intinya, antara masalah-masalah sosial dan dakwah memiliki keterkaitan yang sangat erat dan saling mendukung. Semata-mata dakwah (dalam artian mengajak) tanpa diiringi dengan kelapangan dada untuk saling berbagi dan saling tolong menolong sulit diharapkan keberhasilannya, bahkan boleh jadi hanya akan menuai cemo’oh sebagai NATO (No Action Talking Only).
Sayangnya, hal ini sangat difahami betul oleh para missionaris, sementara kaum Muslimin sendiri seolah tidak punya kesadaran dan kepedulian. Kita sering menyaksikan para missionaris datang ke daerah-daerah kumuh dan miskin (kumis) dengan membawa bantuan ala kadarnya. Setelah memberikan “sogokan”, mereka dengan leluasa dapat menyebarkan missi mereka. Sementara kita hanya bisa protes tanpa bisa berbuat apapun. Walaupun ada peraturan dua menteri yang telah mengatur tentang penyiaran agama, namun terbukti peraturan ini tidak cukup efektif untuk menghentikan upaya pemurtadan umat Islam, khususnya di daerah-daerah “kumis”.
Kadang terbersit rasa pesimis: bahwa kita tidak mungkin adu kekuatan dalam bentuk peneybaran kegiatan sosial, karena minimnya dana yang kita miliki sementara dana mereka seolah tidak terbatas. Sebenarnya, dana mereka sendiri bukan berasal dari Indonesia. Mereka dapat leluasa menerima dana dari Amerika dan Eropa, sementara kiriman dana untuk kaum Muslimin dari Timur-Tengah pasti dicurigai sebagai dana untuk kegiatan terorisme.
Masalah dana, kita tidak perlu bergantung pada luar negeri. Masalah dana sebenarnya bukan masalah yang perlu dikhawatirkan kalau seandainya seluruh kaum Muslimin di Indonesia sama-sama punya kepedulian. Tidak sedikit Umat Islam di Indonesia yang kaya. Buktinya antrian haji sudah sangat panjang, padahal dari sekian banyak yang antri untuk berhaji tidak sedikit yang sekedar untuk menunaikan haji sunnah (haji kedua). Belum lagi yang menunaikan umrah berkali-kali. Amat disayang memang, ibadah haji dan umrah yang sarat nilai sosial di dalamnya, namun para hujjaj seolah tidak dapat menangkapnya. Amat disayangkan kalau kita mengejar perkara yang sunnah, sementara hal-hal yang wajib sendiri diabaikan.
0 Comments:
Post a Comment